Harry Potter, Anda, Anti-fasis dan Churchill

Harry Potter Seorang anak dengan rambut acak-acakan yang telah mencuri hati jutaan orang di dunia dari anak-anak, orang dewasa sampai orang tua, telah menyihir dunia ini dengan menjadi sebuah buku yang paling banyak di baca dimuka bumi ini dan membuat penulisnya J.K. Rowling menjadi lebih kaya dari Ratu Inggris. Saya masih ingat waktu peluncuran buku ke dua Harry Potter “Chamber of Secret” yang menghias headline televisi dan surat kabar dunia. Waktu itu saya belum kenal anak berkaca mata dan bercodet di keningnya itu. Antrian panjang di toko buku dan ribuan buku terjual dalam hitungan jam. Gila, saya pikir. Buku apa yang bisa menyihir orang seperti itu. Waktu itu demam Harry Potter belum mewabah di Indonesia. Tak lama kemudian buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia. Saya sendiri baru membacanya setelah buku kedua diterbitkan Gramedia. Langsung saja saya tersihir oleh oleh bab pertama. Dalam hati saya tertawa sendiri melihat bahwa Rowling sendiri sudah meramalkan kesuksesannya dalam buku pertaman bahwa Harry Potter, seorang nobody, dalam sekejap menjadi orang paling terkenal di dunia sihir, dikenal semua anak-anak sampai orang dewasa.

Anda Mengapa Harry Potter begitu berhasil? Di luar semua strategi bisnis di belakang kesuksesannya yang menjadi ciri masyarakat kapitalistik ini, Harry Potter adalah sebuah buku yang bagus. Ia adalah sebuah buku multi layer yang dapat dibaca segala lapisan. Semua dari kita dapat merasakan bahwa dunia Harry Potter tidaklah terlalu berbeda dibandingkan dengan dunia kita. Kita sendirilah yang sebenarnya menjadi lakon di dalamnya. Di dalamnya kita dapat menemui diri kita sendiri. Mungkin diri kita adalah yang pintar-tahu-segala namun sebenarnya membutuhkan dukungan dan pegangan seperti Hermione Granger. Atau yang hampir gagal di semua bidang namun tetap menghargai kehidupan seperti Neville Longbottom. Bisa jadi Anda anak kurang mampu yang sering iri dengan keadaan teman Anda yang lain namun bersyukur bahwa keluarga Anda tetap menyayangi Anda seperti Ron Weasley. Atau misterius seperti Lupin, dan seterusnya, dan seterusnya. Yah, kita membaca cerita tentang diri kita sendiri.

Anti-fasis Namun lebih dari pada itu Harry Potter mungkin dapat memberikan sebuah perasaan yang sangat unik khususnya bagi generasi kakek-neneknya Rowling di Inggris sana. Saya pribadi tidak tahu apakah Rowling dengan sengaja melakukannya atau tidak. Perasaan itu adalah ketakutan terhadap fasisme yang melanda Eropa di saat Perang Dunia II. Saya rasa orang-orang tua di Eropa, apalagi orang Yahudi, pasti bergidik saat membaca Harry Potter karena mereka dapat memahami rasa takut terhadap Voldemort. Tak lain dan tak bukan karena mereka sendiri pernah mengalaminya.

Perasaan aman setelah usainya Perang Dunia I yang diakhiri dengan gencatan senjata (bukan penyerahan diri) di Versailles nampaknya tidaklah sejati. Begitu pula dengan kalahnya Voldemort karena bayi Harry Potter. Perjanjian Versailles antara lain membatasi angkatan perang Jerman menjadi hanya 100.000 orang dan demiliterisasi Sungai Rhine. Namun hal ini hanyalah mematikan kekuatan militer Jerman secara sementara sementara benih fasisme justru tumbuh subur di saat ekonomi Jerman yang menderita karena harus membayar pampasan perang. Deatheater (sebutan bagi anak buah Voldemort) atau pun simpatisan Voldemort juga demikian, meskipun beberapa memang diadili dan dipenjarakan di Azkaban, namun masih banyak yang berkeliaran dengan aman sambil menantikan kembalinya Voldemort, seperti Lucius Malfoy misalnya. Saya tidak tahu apakah budaya basmi sampai akar seperti yang terjadi dalam sejarah perang antar kerajaan di Indonesia adalah lebih baik karena mengurangi kemungkinan konflik lanjutan akibat penyelesaian parsial. Banyak orang juga berpendapat demikian bahwa seharusnya Jerman menghancurkan seluruh angkatan perangnya dan menyatakan takluk pada Sekutu, bila perlu dengan paksaan. Namun nyatanya semua orang pada akhirnya menerima kesepakatan gencatan senjata dengan Jerman sebagai pihak yang dirugikan.

Bangkitnya Nazi memang sebuah mimpi buruk bagi Eropa, sama halnya dengan kebangkitan Voldemort. Ide gila Adolf Hitler yang mengagung-agungkan keunggulan ras Arya telah menyebabkan kematian puluhan juta orang baik langsung akibat perang atau tidak langsung. Politik rasialis ini membawa pada genocide bangsa Yahudi yang dituding sebagai penyebab hancurnya perekonomian Jerman. Kiranya Anda sudah bisa melihat relevansinya dalam Harry Potter. Voldemort, seperti halnya Hitler, juga mengagung-agungkan kemurnian darah penyihir. Orang yang berdarah muggle harus disingkirkan. Para mudblood, penyihir berdarah tidak murni, saya kira juga akan mengalami hal yang sama dengan keturunan Yahudi jika Voldemort berkuasa.
Hal terakhir yaitu mengenai silsilah Hitler sendiri. Ada dugaan bahwa Hitler sendiri adalah keturunan Yahudi! Ayah kandung Hitler, Alois, adalah seorang anak haram dari seorang Yahudi pada saat nenek Hitler bekerja pada sebuah keluarga Yahudi di Wina, Austria. Hitler sendiri, adalah sebuah nama Jerman, yang diambil dari nama ayah tirinya Alois, yang dinikahi ibunya pada saat Alois berumur lima tahun. Nama keluarga asli Alois sendiri adalah Schickgruber, dari nama ibunya. Alois mengubah nama keluarganya sendiri pada usia 40 tahun. Namun ini hanyalah dugaan yang belum bisa dibuktikan. Beberapa petunjuk memang mengarah ke situ. Salah satunya, Hitler pernah menurunkan perintah untuk memusnahkan sebuah desa di Austria, Dollersheim, tempat ayah Hitler dilahirkan. Bagaimana dengan Voldemort sendiri? Apakah ia sendiri juga keturunan mudblood? Ya, dan nampaknya ia juga sama seperti Hitler, malu akan akar keturunannya sendiri.

Churchill Satu orang yang selalu berteriak supaya mewaspadai Jerman, khususnya setelah Partai Nazi mulai menunjukkan giginya dibawah pimpinan karismatik Adolf Hitler. Ia menulis dan juga berpidato, berusaha meyakinkan Inggris dan Sekutu untuk mengambil tindakan terhadap Jerman sebelum terlambat. Karir politiknya sendiri jadi terhambat karena posisinya yang keras ini. Ia sempat diberhentikan dari jabatannya sebagai Panglima Angkatan Laut. Cukup lama ia terasing dari politik sebelum akhirnya perang memanggilnya kembali. Ia adalah Sir Winston Churchill. Perdana Menteri Inggris saat itu Neville Chamberlain berpikiran lain. Ia cenderung menempuh jalan “damai” dengan menuruti kemauan Jerman dan Italia demi mencegah terjadinya perang baru. Satu persatu daerah di Eropa mulai dicaplok Jerman. Austria jatuh, lalu Czechoslovakia menyusul, tanpa balasan apa pun dari Sekutu. Chamberlain meyakinkan rakyat Inggris bahwa semua akan “baik-baik saja”.

Anda tentunya sudah bisa menebak siapakah Churchill dalam buku Harry Potter. Albus Dumbledore, kepala sekolah Hogwart, pimpinan Order of Pheonix. Ia boleh dibilang tidak punya karir politik, melainkan hanya seorang kepala sekolah yang punya banyak koneksi. Keras kepala dan determinasinya setara dengan Churchill, dan nampaknya seperti Churchill ia akan berperan besar dalam peperangan melawan Voldemort. Lalu siapakah Chamberlain dalam buku Harry Potter? Tak lain adalah Cornelius Fudge, boleh dibilang setara dengan kedudukan perdana menteri. Seperti halnya Chamberlain, Fudge juga cenderung memilih jalan aman (bagi karir politiknya) dan meyakinkan semua orang bahwa tidak ada masalah. Ia tidak jahat, hanya saja politik telah membuat tabir di matanya dan membuat ia lemah.

Apakah kisah Harry Potter akan berjalan seperti sejarah Perang Dunia II? Yaitu Churchill lalu menjadi perdana menteri dan mempertahankan mati-matian Inggris dan berhasil, lalu melancarkan serangan balasan yang membuat Nazi bertekuk lutut. Apakah Dumbledore akan menggantikan posisi Fudge sebagai menteri? Lalu di manakah posisi Harry Potter? Apakah ia akan bernasib seperti Jendral Bernard Montgomerry yang sukses memimpin tentara sekutu memenangkan perang? Kita lihat saja nanti di buku ke-6 dan ke-7.
Baiklah kiranya kututup tulisan ini dengan pidato Sir Winston Churchill pada saat ia diangkat sebagai P.M. Inggris:

“I have nothing to offer but blood, toil, tears, and sweat. … You ask, what is our policy? I will say: It is to wage war, by sea, land, and air, with all our might. … You ask, what is our aim? I can answer in one word: Victory.”

Oleh Oni Suryaman
Telah di sampaikan dalam forum penulisan kreatif -penakom , 2005

Leave a Comment