Oleh Sartika Dian Nuraini
Perpustakaan maya (online library) di perguruan tinggi menjadi kewajiban teknologis tapi tak menjadi tren dan kemajuan akademis di hadapan civitas akademika. Hampir semua unit pelayanan teknik perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia sudah memprioritaskan perpustakaan maya daripada perpustakaan konvensional. Terjadi digitalisasi perpustakaan konvensional ke perpustakaan maya.
Hampir semua civitas akademika, dosen dan mahasiswa, memiliki laptop atau netbook yang bisa terkoneksi dengan internet. Perguruan tinggi dilengkapi dengan area wi-fi atau hotspot gratis. Sekarang sudah mulai banyak diperkenalkan teknologi e-book reader seperti Kindle, iPad, dan lain-lain yang konon akan menjadi tren baru di masa yang akan datang.
Kehidupan akademis perlahan beralih pada dunia maya atau technology minded. Banyak dosen dan mahasiswa yang menggunakan internet dalam aktivitas perkuliahan. Data-data dan informasi tentang perkuliahan sekarang sudah banyak tergantung pada dunia maya.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat memaksa perguruan tinggi untuk beranjak pada perpustakaan maya. Perpustakaan maya juga sebagai salah satu syarat dan strategi bagi perguruan tinggi untuk mencapai world class university yang menjadi tren arah perkembangan perguruan tinggi. Digitalisasi koleksi perpustakaan menjadi keniscayaan untuk mengikuti laju pekembangan kehidupan akademis. Banyak dana dikeluarkan untuk pengadaan perpustakaan maya ini.
Sebagai contoh, unit pelayanan perpustakaan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, menganggarkan dana Rp 1 miliar untuk berlangganan data base jurnal online. Jumlah ini sangat jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pengadaan koleksi cetak yang hanya Rp 150 juta. Itu belum ditambah dengan anggaran perpustakaan di tiap fakultas. Total anggaran perpustakaan maya untuk berlangganan jurnal internasional mencapai Rp 5,8 miliar (Balkon Balairung UGM edisi spesial 2010). Itu juga belum termasuk anggaran bandwith internet yang bisa dipastikan mencapai miliaran rupiah per tahun.
Di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, unit pelayanan teknis perpustakaan pusat menghabiskan dana sekita Rp 300 juta untuk berlangganan jurnal online. Sedangkan untuk biaya bandwith internet mencapai sekitar Rp 3 miliar untuk tahun 2010.
Ironis!
Angka-angka ini sangat fantastis tapi pemanfaatannya ironis dalam hal akademis. Saat saya bertanya pada teman-teman dari berbagai fakultas ternyata banyak yang tidak tahu tentang adanya perpustakaan maya apalagi menggunakan atau memanfaatkan perpustakaan maya. Menurut kepala Pusat Komputer UNS, Dr. Sutanto dalam satu pidatonya, anggaran internet yang sekitar Rp 3 miliar per tahun itu sekitar 60 persen habis untuk Facebook atau download film dan musik.
Setidaknya ada tiga alasan kenapa perpustakaan maya tidak sejalan dengan kehidupan teknologis civitas akademika. Pertama, sosialisasi perpustakaan memang masih kurang seperti yang terjadi di kampus saya. Seharusnya pengelola perpustakaan maya perguruan tinggi mensosialisasikannya juga melalui media jejaring sosial semacam Facebook atau Twitter dan email.
Pengelola perpustakaan maya harus mendata alamat email anggota perpustakaan untuk diberi password untuk akses jurnal internasional di mana perpustakaan maya perguruan tinggi berlangganan. Di Universitas Indonesia setiap mahasiswa mendapatkan password yang berbeda untuk mengakses jurnal internasional dalam email mereka setiap tiga bulan sekali.
Kedua, sudah menjadi aib umum mahasiswa bahwa mahasiswa banyak yang tidak membaca buku. Buta buku. Perpustakaan dikunjungi tak lebih dari 10 persen jumlah total mahasiswa satu perguruan tinggi, hanya menarik bagi mereka yang hendak mengerjakan tugas dan terutama skripsi. Moto mahasiswa sekarang bukan “buku, pesta, dan cinta” yang bahkan pernah menjadi lagu mars Universitas Indonesia pada tahun 1960-an, tapi “cinta picisan, gila shopping, dan candu fashion”.
Banalitas budaya akademis merajalela di ruang-ruang kampus. Kampus menjadi arena shop display, etalase gaya hidup, pasar lifestyle. Mahasiswa asyik mempertontonkan gaya pakaian, gaya rambut, gaya handphone, gaya laptop/netbook, gaya motor, gaya mobil, atau gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas.
Mahasiswa mengejar dan tenggelam dalam tugas, nilai, uang penelitian, dan kelulusan, tapi mengabsenkan diri dari pengembangan gagasan, wacana, apalagi ilmu pengetahuan. Mahasiswa tak lebih dari sekadar penikmat dan konsumen pengetahuan, teori, atau informasi yang minim dan tak kritis ketimbang sebagai pencipta atau produsen yang produktif, inovatif, revolusioner.
Ketiga, paradigma perkuliahan di perguruan tinggi belum berorientasi pada penelitian. Mahasiswa lebih didorong untuk mengkonsumsi kata-kata dosen yang hanya ringkasan dalam power point ketimbang mengeksplorasi khazanah pemikiran, gagasan, atau wacana intelektualitas-akademis.
Tak mengherankan jika jurnal nasional apalagi internasional tak tersentuh mahasiswa bahkan sebagian dosen tak tahu kalau ada perpustakaan maya apalagi mengaksesnya. Juga tak tampak gairah pada setiap jurusan untuk menerbitkan jurnal berdasarkan spesifikasi bidang studi bagi mahasiswa dan dosen yang akan menggairahkan penggunaan jurnal-jurnal online untuk diakses dan dibaca.
Semua kondisi ini butuh segera disadari dan diperbaiki, kalau tidak kita hanya melakukan lompatan teknologis, tapi tak melakukan lompatan akademis: Terjebak dalam bahaya dunia maya yang tak seseru serial film Matrix!
Sartika Dian Nuraini. Mahasiswa Sastra Inggris UNS, Bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo
Sumber: Solopos, Selasa 01 November 2011. Diambil dari catatan Facebook “Sartika Dian Nuraini”, “Online Library: Lompatan Teknologis dan Kemajuan Akademis?”.