Facebook Sebagai Media Kolaborasi dan Publikasi Sastra

(Judul asli adalah Facebook dan Sastra kita, tapi faktanya adalah facebook  telah menjadi media kolaborasi penciptaan karya sastra, publikasi Sastra dan penjualan buku-buku sastra)

sastrafacebookSastra Indonesia mutakhir diwarnai beragam defenisi dan polemik yang menyertai perjalanannya. Pernah menghangat perdebatan tentang sastra kontekstual versus sastra universal di era 80-an, lalu belakangan menyusul sejumlah polemik tentang sastra buku, sastra majalah, sastra koran, sastra saiber, sastra komunitas dan terakhir sastra facebook.

Maka bicara tentang sastra Indonesia mutakhir, sungguh tak lagi   mudah. Kita telah menemukan sejumlah karya sastra multimedia, yang lahir dari hati dan pikiran para blogger dan kini merebak liar fenomena facebook. Sejak munculnya situs sastra www.cybersastra.net beberapa tahun lalu, aliran dan gerak kreativitas kesusasteraan di jejaring maya ini terus menderas. Dan secara objektif,  para blogger dan facebooker itupun sudah banyak lahir jadi penulis di koran-koran. Inilah sastra kontemporer kita paling objektif. Banyak karya yang bertaburan di ranah maya itu terkadang justru mengalahkan kualitas karya-karya yang muncul di koran.

Terlepas dari polemik tentang kualitas, fenomena facebook dalam perjalanan sastra Indonesia kontemporer menjadi penting diperbincangkan. Paling tidak, kehadiran facebook terbukti telah mampu memicu gairah dan tradisi menulis di kalangan pengguna.  Bahkan telah banyak dari mereka mulai tampil dan berkompetisi di berbagai media massa baik lokal maupun nasional. Dan menariknya, facebook juga mampu merangsang gairah penerbitan buku-buku sastra meskipun masih terbatas dilakukan sejumlah komunitas.
Salah satu buku karya para facebooker yang saat ini ramai dibicarakan di jejaring maya dalah Merah yang Meremah. Buku ini merupakan kumpulan puisi 10 Penyair Perempuan di Facebook yaitu Dewi Maharani, Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K dan Weni Suryandari. Perlu diketahui, 10 perempuan ini berasal dari berbagai tempat di tanah air, bahkan ada yang berasal dari Taiwan.

Mengejutkan, buku ini mendapat tanggapan serius dari sejumlah sastrawan Indonesia. Leonowens SP, misalnya, menyebutkan bahwa puisi-puisi dalam buku itu menyentuh, imajinatif, sarat makna, dan cerdas.

Medy Loekito, penyair Indonesia yang kerap menulis haiku, mengatakan bahwa hadirnya buku itu mengejutkan. “Sungguh mengejutkan membaca perkembangan puisi penyair wanita Indonesia yang ditampilkan lewat media cyber. Tampak dengan jelas betapa kebebasan yang disediakan oleh media cyber ini terutama FB betul-betul tidak tersia-siakan. Dan kemampuan penyair wanita Indonesia “menjinakkan” media cyber ini jelas berperan penting bagi perkembangan sastra Indonesia,” katanya.

Selain penerbitan buku, berbagai komunitas sastra juga bermunculan di facebook. Komunitas Anak Sastra, misalnya, hadir di facebook sebagai penggiat sastra dan linguistik. “Kami menyadari peranan bahasa dan sastra begitu besar dalam menunjang Indonesia yang mampu melawan budaya Globalisasi. Majulah Bahasaku Jayalah Sastraku,” begitu pengelola menuliskan tagline-nya. Hingga Jumat (8/1), di akun ini tercatat 621 member Lalu ada Sastra Indonesia, gubahan anak-anak UI. Jejaring ini menampilkan tagline bernuansa solidaritas: Kami banyak. Kami satu. Kami Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2008!

Akun lain adalah bernama Komunitas Mata Aksara, sebagaimana tercantum di bilik infornya, hadir untuk mengambil peran sebagai wadah telaah sastra, penerbitan dan workshop penulisan. Lebih jauh, komunitas ini juga memfokuskan komitmennya terhadap telisik sastra dan penulisan populer, kajian budaya (culural studies), kajian spiritual, kajian sosial, dan kajian pendidikan.

Di jejaring ini, tercatat sebagai dewan redaksi Handoko F Zainsam, Khrisna Pabichara, Salahudin Gz, Yayan R. Triyansyah. Beberapa nama ini sudah mulai muncul dalam intensitas terbatas di sejumlah media.

Bagaimana dengan Medan? Sejauh ini belum kelihatan adanya kelompok kreatif memanfaatkan jejaring populer ini membangun sastra di daerah ini. Generasi terbaru pencinta sastra dan para sastrawan yang ‘udah di menara gading’,  agaknya lebih suka main FB sendiri tanpa berusaha membangun semangat kreatif  generasi baru lewat kompensasi saiber ini.

Untunglah ada facebook milik Fakultas Sastra UISU, selain sastramedan.com. Tapi di kedua media ini, belum kelihatan adanya energi baru tentang upaya membangun sastra di Medan atau di Sumut. Facebook memiliki keunggulan tertentu karena di sana berbagai kelompok bisa berinteraksi lebih komunikatif, massal, dan bebas.

Tapi bagaimanapun, perkembangan sastra Indonesia bukan soal Sumut, Sumbar, Jawa, Bali, Kalimantan dll, tapi soal bagaimana para pekerja sastra menyumbangkan pikiran untuk Indonesia dan dunia di tempat dan kebudayaannya masing-masing dan menggunakan segala wadah secara kreatif.

Simak perkataan penyair Heru Emka, “Cukup wajar bila FB menjelma menjadi media baru yang cukup ekspresif untuk mencurahkan berbagai ungkapan perasaan, termasuk puisi yang sebelumnya menjadi wilayah angker bagi orang awam seperti kata Chairil Anwar: “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Bukankah penyair itu bukan darah turunan dan siapa saja boleh menulis puisi?

Sumber: Facebook dan Sastra Kita, Harian Sumut Pos, http://www.hariansumutpos.com/2010/01/facebook-dan-sastra-kita.html

Leave a Comment